Minggu, 04 November 2018

Gayung Persatuan

Oleh: Akhdan sabilulhaq


      Gila. Tingkah laku Umar makin aneh hari ini. Seminggu yang lalu kami baru kembali  masuk pesantren. Sejak saat itu tingkah Umar berubah. Dan hari ini aku melihat sendiri Umar yang tadinya melamun tiba tiba menangis dan membenturkan kepalanya ke tembok. Macam adegan orang depresi di sinetron saja, batinku.

      Ntah, masalah apa yang sedang menimpa Umar. Yang jelas perilakunya berubah 180 derajat. Umar yang ceria tak pernah lagi kulihat ngobrol dengan kawannya. Seminggu terakhir, ia sering melamun. merenung. sendirian. Selalu menyendiri.

                                                                            ***
      “ Dik, ngopi yuk!’’ Ajak Iqbal memecah lamunanku.
      “ Ayo deh, kebetulan malem ini ane lagi nyantai. ’’ Jawabku.
      Seperti biasa aku menyumbang tiga sachet kopi sedangkan Iqbal bertugas menyiapkan  gayung dan menyeduh kopi dalam gayung tersebut.
      Santri selalu punya inovasi untuk mengikuti tren masa kini. Karena di pondok fasilitas kita terbatas. Disitulah muncul berbagai ide kreatifitas.
      Seperti ngopi misalnya, ketika di luar sana anak anak muda bersuka ria di cafe ternama. Dengan gawai dan secangkir kopi ala ala. Santri juga tak mau kalah. Segayung kopi dan sebungkus biskuit kelapa. Sempurna menemani malamnya santri dihiasi obrolan dan tawa di depan asrama. Sederhana, namun cukup membuat bahagia.
      Malam itu, topik obrolanku dan Iqbal tak jauh dari berita sepak bola. Namun, ketika hendak masuk asrama. Aku kembali teringat Umar, ia tak pernah lagi terlihat ngopi ba’da isya bersama kawan kawan. Padahal dia yang biasanya paling bersemangat. Ah, sudahlah. Sudah malam, lebih baik tidur. Aku tak mau berurusan dengan bidang kedisiplinan akibat telat bangun shubuh.

                                                                              ***
      Tak terasa akhir akhir ini aku punya kebiasaan baru, memperhatikan Umar. Ntah, mengapa aku ingin berbuat sesuatu untuknya. Sepertinya ia butuh teman bicara.
      Ba’da isya aku hampiri Umar. Membujuknya agar mau ngopi dengan iming iming kue bolu khas Lembang. Dan, rupanya rayuanku berhasil.
      “ Mar, kenapa sih akhir akhir ini sering menyendiri? ’’ tanyaku sarkas.
      “ Eh, emang iya ya? Ngga ah. Perasaan ente aja kali.’’ Bantahnya.
      “ Sudahlah, cerita aja sama ane. Sepertinya ente butuh pendengar. Siapa tahu ane bisa bantu.’’  Ujarku bijak.
      “ Jadi Dik, ayah ane menggugat cerai ibu. Ternyata ayah tergoda wanita lain. Dan sampai sekarang ayah belum kembali ke rumah. Ane bingung harus bagaimana. Masih ga nyangka aja gitu, seorang ayah yang selalu ane banggakan dan jadikan panutan bisa sejahat itu. Ntah, tiba tiba muncul kebencian pada ayah ane sendiri. Ibu ane nangis dik saat ane mau balik ke pondok. Sungguh, tega banget ayah meninggalkan ibu dan adik ane di rumah. Ane benci sungguh benci. Tadinya ane ingin ikut-ikutan temen-temen yang suka kabur dari pondok buat melampiaskan kebencian. Bahkan, sempet terpikir buat bunuh diri, Dik. Katanya Allah sayang sama hambanya. Tapi kenapa ayah tega berbuat seperti itu. Apa mungkin Allah ga sayang sama ane ya, Dik? Jadi percuma ane ibadah untuk Allah selama ini.’’ Cerita umar dengan berlinang air mata.
      “ Astaghfirullah. Istighfar Mar, ga boleh berpikir seperti itu. Apapun masalah yang terjadi, itu adalah ujian buat kita, Mar. kita harus menghadapinya. Bukan malah berburuk sangka pada sang pencipta. Ane akui yang ente hadapi ini sangat berat. Tapi, bukankah dibalik kesulitan itu ada kemudahan? Coba pikirkan deh, kalau ente malah cari pelampiasan yang ada masalah semakin runyam, Mar. Jangan egois dong. katanya sayang sama ibu, mau makin nambah beban pikiran beliau? Apalagi ente anak sulung. Otomatis ente bakal jadi kepala keluarga. Nah, tugas ente sekarang ya bersabar dan fokus belajar. Ingat, setahun lagi kita diwisuda, Mar. jadi, mulai sekarang tunjukkan prestasi terbaik ente, Mar. Dan jangan lupa doakan yang terbaik untuk ayahmu. Karena kebencian justru akan membawa dampak negatif. Bagaimanapun juga beliau adalah ayah kandungmu bukan? Ayo semangat, Mar. Ente pasti bisa melewati ini semua.” Terangku panjang lebar.
      “ Terimakasih, Dik. Benar apa kata ente. Ane terlalu egois memikirkan diri ane sendiri. Ane janji akan jadi sosok yang menguatkan ibu dan adikku.’’ Jawab Umar seraya memelukku erat.
                                                                            ***
      “ Eh, Mar lolos? ’’ Tanyaku pada Umar yang memakai stelan jas rapi pagi ini.
      “ Alhamdulillah, Dik. Masuk final nih. Doakan ya’’ jawab umar berseri seri.
        Umar mengikuti lomba tahfidz qur’an 30 juz. Dan dia lolos ke babak final.
      Subhanallah. Sejak malam itu, ada janji dan tekad kuat yang tak terucap dalam hati Umar. Hari-hari berikutnya Umar menjadi pribadi yang lebih baik. Menghafal qur’an setiap hari. Belajar hingga larut malam. Dan, akhirnya banyak prestasi yang ia capai.
      Dari kisah Umar, aku menyadari banyak hal. Betapa sebuah gayung sangat bermanfaat di pesantren. Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat mandi. Tapi, secara tidak langsung juga sebagai pengerat ukhuwah kami. Ah, selalu ada cerita unik dari santri. Betapa kebersamaan adalah barang mahal yang tidak dapat dibeli. Dan kesederhanaan mengajarkan kami untuk rendah hati.
      Manusia itu makhluk sosial. Ia butuh tempat bercerita ketika masalah datang dan ketika ia ragu sikap apa yang harus ia lakukan. Aku percaya energi positif itu harus disebarluaskan, dan energi negatif itu juga harus disalurkan. Tapi di tempat dan skala yang bisa dikendalikan. Karena bahaya, sesuatu yang disimpan panjang akan jadi penyakit atau hanya jadi bom waktu, ia bisa meledak tak terkontrol. Dan kau tahu tempat cerita yang paling nyaman? Ya, pada tuhan. Tepatnya di sepertiga malam.
      Dari kisah Umar aku belajar. Hidup itu harus terus selalu bergerak. Satu masalah pergi, satu masalah datang. Begitu juga senang. Tugas manusia ya, berjuang.




9 komentar:

Facebook